Penahanan terhadap Tersangka INP dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi terhadap pengelolaan Dana Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Yehembang Kauh Kec. Mendoyo Kab. Jembrana, oleh Kejaksaan Negeri Jembrana berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: print-18/N.1.16/Fd.1/03/2023 tanggal 02 Maret 2023, hingga kini menjadi Polemik di kalangan masyarakat.
Alasan Jaksa Penyidik melakukan penahanan terhadap Tersangka INP berdasarkan alasan obyektif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan alasan subyektif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dimana Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Jembrana memiliki kekhawatiran terhadap Tersangka INP bahwa Tersangka akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti
Berdasarkan Siaran Pers Kejaksaan Negeri Jembrana Nomor : PR- 02/M.1.10.2/Kph.3/03/2023 terkait Penahanan Terhadap Tersangka Korupsi LPD Yahembang Kauh, dijelaskan bahwa sebelumnya Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Jembrana telah melakukan penyidikan terhadap dugaan Tindak Pidana Korupsi terhadap pengelolaan Dana Perkreditan Desa (LPD) Yehembang Kauh pada bulan Oktober 2022 berdasarkan Surat Perintah Penyidik Nomor: PRINT-281/N.1.16/Fd.1/10/2022 tanggal 31 Oktober 2022 dan telah dilakukan Penetapan Tersangka berdasakan Surat Penetapan Tersangka (PIDSUS-18) Nomor : PRINT-125A/ N.1.16/Fd.1/01/2023 tanggal 10 Januari 2023 atas nama Tersangka INP.
Lantaran munculnya polemik, insan media berupaya untuk melakukan peliputan berita video dalam sesi Dialog Interaktif, namun dari 2 kali surat yang dikirimkan oleh pihak media, dimana Kajari Jembrana seakan berupaya menghindar, entah karena alasannya ada beberapa pertanyaan yang diajukan adalah sudah mendalam pada ranah penyidikan, ataukah ada sebab-sebab lain.
”Kami belum bisa melayani Dialog Interaktif karena beberapa pertanyaan yang diajukan adalah sudah mendalam pada ranah penyidikan”, jelas Kajari Jembrana melalui Kasi Intel Kejari.
Selanjutnya, atas seizin Kajari Jembrana Salomina Mieyke Saliama, SH, MH, Kasi Intel Kejari Jembrana Fajar, SH, MH pada Selasa (14/3) mejelaskan, adapun dasar hingga bisa menetapkan Tersangka INP dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi karena Tersangka disinyalir telah merugikan negara, sebab di awal pembentukan LPD adanya penyertaan modal dari pemerintah.
“INP ditetapkan Tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi karena Tersangka disinyalir telah merugikan negara, sebab di awal adalah pembentukan LPD adanya penyertaan modal dari pemerintah”, jelasnya.
Mengacu dari beberapa sumber, memang ada penyertaan permodalan awal dari pemerintah terhadap LPD, namun jika dilihat dari nominalnya sangatlah relatif kecil dibandingkan modal pacingkrem yang dipasang, dan itupun telah dihibahkan sesuai SK Gubernur Bali Nomor 186/03-0/HK/2022, Gubernur memberi hibah modal pertama LPD diantaranya kepada tujuh desa adat di Denpasar dengan nilai keseluruhan Rp20 juta, 13 desa adat di Buleleng dengan nilai keseluruhan Rp29 juta, 59 desa adat di Gianyar dengan nilai keseluruhan Rp364 juta, dan 48 desa adat di Klungkung dengan nilai keseluruhan Rp218 juta. Kemudian untuk enam desa adat di Jembrana dengan nilai keseluruhan Rp12 juta, untuk 47 desa adat di Karangasem dengan nilai keseluruhan Rp249 juta, dan 100 desa adat di Tabanan dengan nilai keseluruhan Rp598 juta, sehingga dalam hal ini, banyak kalangan yang menilai bahwa kasus ini lebih tepat jika dibawa ke ranah Tindak Pidana Umum seperti Penggelapan Dana ataupun Penyalahgunaan Dana, Penyalahgunaan Wewenang hingga mengakibatkan kerugian dalam LPD, bukanlah Korupsi, bahkan ada anggapan pihak Kejari dalam hal ini tidak mengindahkan SK dari Gubernur Bali dimaksud.
Salah seorang tokoh agama yang menjadi TIM Hukum PHDI Bali dan Kabupaten Jembrana, Dr. I Ketut Widia, S.H, M.H, yang pada saat ini sedang bergiat untuk mendapatkan jabatan guru besar atau professor, juga sangat menyayangkan hal ini.
Menurutnya, kata Korupsi di LPD itu sesungguhnya sudah tidak relevan baik secara hukum maupun secara sosiologis. Istilah yang nampaknya benar secara hukum dan disepakati oleh para pakar hukum dalam sebuah seminar yang dilaksanakan oleh PHDI Bali, bukan korupsi dalam konteks ini, tetapi lebih tepat dipakai istilah penyalahgunaan keuangan LPD milik desa adat.
“Dalam hal ini, kita sangat setuju yang bersangkutan dihukum bahkan seberat-beratnya, namun terlebih dahulu harus dipahami ada perbedaan mendasar antara tindak kejahatan korupsi dengan penyalahgunaan keuangan LPD, ini tidak tipis, tetapi sangat mencolok dan dapat diverifikasi. Penyalahgunaan keuangan itu diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sementara masalah korupsi diatur di dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang sering disebut sebagai Undang-undang TIPIKOR. Jadi jelas sekali perbedaannya” ungkap Widia.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Dr. I Ketut Widia S.H, M.H, kontruksi tindak pidana korupsi itu berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo. UU. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-undang 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, secara umum ada beberapa unsur yaitu: barang siapa, dengan sengaja maupun tidak sengaja, memperkaya diri sendiri atau orang lain, secara melawan hak, merugikan keuangan negara dan perekonomian masyarakat, dapat dihukum karena melakukan korupsi.
“Untuk kasus yang terjadi di LPD. ada unsur yang tidak terpenuhi, yaitu,”merugikan keuangan negara”. Karena secara fakta hukum, dana yang dipakai untuk membangun LPD itu adalah dana urunan yang berasal dari krama desa yang juga disebut sebagai pecingkrem, dalam rangka mewujudkan tujuan berdirinya LPD. yaitu, meningkatkan, memperdayakan, dan menguatkan perekonomian masyarakat demi terwujudnya kondisi yang sejahtera lahir dan batin,” jelas Widia.
Cara berpikirnya adalah, adanya isu yang sampai saat ini tidak bisa dibuktikan adanya penyertaan modal dari pemerintah yang dalam hal ini Gubernur Bali pada dekade tahun 1988-1990 an, memberikan bantuan kepada desa adat. Salah satu alasannya demi untuk lomba desa dan lain-lain. Lalu menjadi aneh, modal yang dari urunan krama desa setelah menjadi ratusan juta diklaim sebagai milik negara. Konstruksi berpikir hukumnya tidak nyambung, termasuk konstruksi berpikir secara manajemen ekonomi juga tidak relevan. Dengan demikian, karena tidak ada kerugian negara sesungguhnya, maka kasus yang sekarang sedang disangkakan ini bukan kasus tindak pidana korupsi. Tetapi masuk ranah pidana umum.
“Karena bukan ranah bidang tindak pidana korupsi, maka sebaiknya kasus semacam ini dibawa ke ranah hukum adat. Terutama kalau kita mau jujur dan berhati nurani memandang dalam perspektif hukum adat. Karena desa adat itu adalah komunitas unik, berdiri sendiri, otonom, mengatur kekayaannya sendiri, kalau ada permasalahan atau wicara, di Lembaga desa adat juga ada instrument yang harus diperdayakan dan dikuatkan yaitu Baga Kerta Desa. Disinilah wicara adat itu harus diselesaikan, bukan dilaporkan ke APH, yang akhirnya ditangani secara hukum positif yang juga berarti melanggar asas “Ultimu remedium”, dan asas “Rumah Restoratif Justice”. Sebagaimana belakangan ini digencarkan oleh Jaksa Agung karena penjara terlalu penuh. Lain dari pada itu berdasarkan hasil penelitian saya pada tahun 2019 lalu, setiap hari rakyat melalui pajak yang dibayar menghabiskan uang kurang lebih 3,7 milyar perhari. Ini kalau dihitung perhari narapidana mendapat jatah Rp40.000 sampai Rp60.000. Jumlah narapidana sekarang sudah mencapai kurang lebih 387.000 orang narapidana. Jadi tidak akan ada manfaatnya penegakan hukum membawa ketua LPD ke penjara sementara uang masyarakat penabung tidak dapat dikembalikan,” papar Widia.
Masih menurut Widia, dasar hukumnya jelas, yaitu Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, terutama dalam ketentuan Pasal 20 Tentang Awig-Awig, dan juga ketentuan BAB IV Pasal 13, yang menegaskan bahwa, wicara adat hendaknya diselesaikan secara adat melalui paruman Baga Kerta Desa dan Sabha Desa Adat setempat.
Surat Gubernur ini sesungguhnya mempunyai esensi agar APH jangan membawa kasus adat ini ke ranah hukum positif. Biarkan dengan kearifan lokal yang ada, masyarakat bermusyawarah menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Kalau tergesa-gesa membawa ke ranah hukum, akhirnya seperti ini. LPD menjadi tutup, pelayanan kepada nasabah tidak jalan, dan para peminjam senyum-senyum kegirangan karena merasa sudah tidak punya beban hutang, padahal titik krusial sesungguhnya pada kredit macet. Penagihan kredit macet inilah yang seharusnya dibantu oleh APH untuk menyelesaikan. LPD harus dibuka kembali walaupun untuk sementara pinjam kantor di LPLPD Kabupaten kalau semuanya beritikad baik dan semangat, niscaya LPD akan bangkit Kembali. Lalu Jaksa membantu pengurus untuk menagih kredit yang macet kalau konsisten mengklaim uang LPD adalah uang milik Negara,” ucapnya.
Dr. Widia mencontohkan bukti secara emperis yang dapat dipertanggungjawabkan kalau masalah korupsi di LPD. Akan lebih baik hasilnya kalau diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat secara hukum adat, sangat banyak ada LPD yang bermasalah, tidak ditangani oleh APH, diselesaikan secara adat dan lancar kembali. Contoh spektakuler adalah LPD Desa Adat Tuwed, Sekarang LPD ini mendapat juara, karena masalahnya diselesaikan secara adat.
“Sebagai kejahatan yang luar biasa, Extra Ordinary Crime, kejahatan korupsi biasanya dilakukan oleh mereka yang terpelajar dan berjemaah, atau melibatkan banyak orang. Kejadian semacam ini tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Kata berjemaah itu maksudnya adalah siapa saja yang seharusnya bertanggungjawab, mulai dari Badan Pengawas LPD, nasabah kredit LPD yang macet sengaja tidak membayar kredit, oknum siapapun yang pernah menerima uang dari LPD sehingga LPD menjadi kolaps krisis likwidasi, semua harus dipanggil oleh APH kalau kita berbicara tentang keadilan.
Menjadi distriminatif kalau hanya Ketua LPD saja yang dijadikan terdakwa dan yang dipersalahkan. Penegakan semacam ini selain menghamburkan uang negara, tidak ada manfaatnya sama sekali, tidak berkeadilan, dan hanya berorientasi pada kepastian hukum saja dan berbasis anggaran yang harus diserap. Sangat banyak biaya yang habis untuk memanggil saksi, biaya sidang, sementara masyarakat tidak mendapatkan apa-apa. Negara rasanya tidak mungkin mau membayar uang masyarakat karena ini bukan uang negara. Menjadi sangat aneh lagi kalau masyarakat diklaim oleh APH sebagai uang negara. Sangat kontradiktif, dan bisa saja berarti negara yang merampas uang rakyat. Sehingga penjahatnya justru negara itu sendiri karena mengakui dan merampas uang rakyat,” ungkap Widia.
Adapun yang harus diadukan dan dipanggil oleh APH adalah Badan Pengawas LPD, karena mereka hanya menerima honorarium saja, tetapi alfa dalam prestasi akuntansi. Selain itu para nasabah kredit yang tidak beretikad baik. Dasar hukumnya adalah Pasal 1367 BW Perbuatan melawan hukum: “Orang tidak saja harus bertanggungjawab terhadap perbuatan dirinya sendiri, tetapi juga harus bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain yang menjadi tanggungjawabnya”. Contohnya majikan harus bertanggungjawab terhadap sopirnya yang melakukan kesalahan. Begitu juga, APH dan Badan Pengawas yang lalai melakukan fungsi pengawasannya, hanya menerima uang honor saja, harus bertanggungjawab dan bisa diadukan kepada APH. Khusus APH harus dimintai pertanggungjawaban juga, karena lalai membantu pengurus LPD dalam rangka menagih kredit macet di masyarakat. Disebuah desa di Jembrana, oknum yang melaporkan kasus ini harus juga diminta pertanggungjawaban, karena laporannya maka LPD menjadi kolaps.
“Ya, Reilnya, para pengawas LPD, nasabah LPD yang lalai membayar kewajiban, atau siapa saja yang pernah terbukti menerima uang dari LPD dapat dituntut secara hukum pidana sebagai orang/oknum yang ikut terlibat dalam kasus korupsi, sangat bisa dimintai pertanggungjawaban dan dilaporkan kepada APH. Apalagi yang terbukti sudah pernah menerima uang dari LPD. Karena penerimaan uang inilah menjadi penyebab LPD kolaps,”jelasnya.
Dr. Widia akhirnya berharap LPD harus tetap dibuka dan dihidupkan kembali terutama dalam rangka menagih kredit macet dengan bunga dan dendanya. Kalau dibuka, ditata dengan baik, niscaya kepercayaan masyarakat akan muncul lagi. Bukan itu saja, LPD akan hidup kembali, semakin kuat, semakin berdaya, dan bermanfaaat bagi krama desa, seperti LPD Tuwed, Candi Kesuma, LPD Tukadaya, dan lain sebagainya.
Saat ditanya apakah penegakan hukum yang menjadikan kasus LPD sebagai tindak pidana korupsi bermanfaat bagi masyarakat, Doktor Widia menjawab bahwa itu sama sekali tidak bermanfaat, justru masyarakat menjadi semakin rugi. Ada fakta hukum yang menyatakan demikian. Dicantohkannya di Desa Tuwed, hampir satu tahun berperkara, masyarakat tidak mendapatkan apa-apa, cuma saksinya saja dibayar kurang lebih Rp600.000,- sekali dating dan juga pengacara terdakwa yang dibayar oleh negara.
Dalam hal ini Doktor Widia justru menyarankan kasus LPD dapat diselesaikan dengan cara mengedapankan upaya restorative justice, dimana Restorative Justice adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban dan pelaku termasuk keluarganya. Hakekatnya, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
“Dasar hukumnya sangat banyak, terutama sila ke empat dari Pancasila. Menurut Ficot Capree, ”Musyawarah adalah hukum yang tertinggi yang ada di dalam masyarakat”. Kalau ini diingkari, maka namanya kebangetan, LPD harus dibuka Kembali, walaupun kantornya pinjam di kota agar di desa tidak ramai dan gaduh. Memang isu akan menjadi liar, LPD sengaja dibangkrutkan,” tutup Widia.